Samarinda, Klausa.co – Kucuran dana desa yang mencapai Rp810,02 miliar untuk 841 desa di Kalimantan Timur (Kaltim) pada 2025 belum sepenuhnya diiringi dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim menilai, masih banyak desa yang belum menjalankan pelaporan keuangan secara optimal. Hal tersebut membuka celah terhadap potensi penyimpangan.
“Pengelolaan anggaran bukan hanya soal administrasi. Ini soal kepercayaan publik dan masa depan desa. Penyimpangan sekecil apa pun harus dicegah sejak awal,” tegas Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto.
Dalam evaluasi terbaru Kejati, pelaporan keuangan di tingkat desa dinilai belum tertib. Padahal, dana desa seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan dan peningkatan kesejahteraan warga. Ketidaksiapan administrasi dan minimnya pemahaman hukum disebut jadi faktor dominan.
Sebagai langkah pencegahan, Kejati Kaltim gencar memberikan edukasi hukum bagi para perangkat desa. Tujuannya untuk memperkuat kapasitas tata kelola keuangan desa agar tak hanya patuh secara aturan, juga berdampak langsung pada pembangunan.
“Desa itu aktor penting dalam pembangunan. Tapi tanpa pemahaman hukum dan pengawasan yang baik, dana sebesar itu bisa saja disalahgunakan,” ujar Toni.
Dari sisi distribusi, Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi penerima dana desa terbesar tahun depan, yakni Rp200,57 miliar untuk 193 desa. Disusul Kutai Barat (Rp151,37 miliar), Kutai Timur (Rp150,31 miliar), dan Paser (Rp124,53 miliar). Sementara Mahakam Ulu dan Penajam Paser Utara masing-masing hanya menerima Rp52,24 miliar dan Rp29,47 miliar.
Namun, tak satu pun desa di Kaltim menerima Alokasi Afirmasi, tambahan dana untuk desa tertinggal. Padahal, pemerintah pusat melalui Dana Desa 2025 telah menyiapkan Rp2 triliun sebagai insentif kinerja dan afirmasi, sebagaimana diatur dalam Permenkeu No. 108/2024. (Yah/Fch/Klausa)