Samarinda, Klausa.co – Upaya melestarikan kekayaan kuliner khas Samarinda terus bergulir. Tiga makanan tradisional, yakni amparan tatak, amplang, dan bubur peca, tengah diajukan menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Pemerintah Kota Samarinda melalui Kementerian Kebudayaan.
Proses pengajuan ketiga kuliner itu saat ini memasuki tahap penyempurnaan dokumen. Tim penilai dari Kementerian Kebudayaan meminta revisi sejumlah aspek, mulai dari perbaikan isi formulir, penambahan literatur ilmiah, hingga penyusunan rencana aksi pelestarian yang lebih terukur.
Perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIV Kaltim-Kaltara, Sisva Maryadi, mengatakan bahwa selain memperkaya referensi, dokumen usulan juga harus dilengkapi dengan rencana pelestarian berbasis empat pilar. Seperti perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.
“Pelestarian tidak bisa berhenti di pengajuan. Harus ada tindak lanjut nyata, seperti seminar, edukasi masyarakat, sampai pemberdayaan ekonomi berbasis kuliner lokal,” tegas Sisva, Jumat (4/7/2025).
Ia juga menambahkan bahwa dokumentasi visual, seperti video, menjadi salah satu syarat penting untuk memperkuat usulan tersebut.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Samarinda, Barlin Hady Kesuma, membenarkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan berbagai dokumen pendukung, termasuk video dokumenter dan naskah akademik yang ditulis oleh para ahli sejarah dan budaya.
“Sejak tahun lalu kami intens menyusun naskah ini. Tahun ini penilaiannya masuk tahap nasional. Kami bekerja sama dengan penulis berpengalaman seperti Hamdani dan Muhammad Sarip,” ujar Barlin.
Selain ketiga kuliner tersebut, Pemkot Samarinda juga mengusulkan kapal tambangan sebagai Warisan Budaya Takbenda di kategori pengetahuan dan kebiasaan masyarakat yang terkait dengan lingkungan hidup.
Rapat finalisasi dokumen baru-baru ini melibatkan berbagai pihak, termasuk Disdikbud Provinsi Kaltim, tim penulis, Balai Pelestarian Kebudayaan, serta para maestro budaya Samarinda.
Sejarawan Muhammad Sarip yang ikut menyusun naskah akademik menegaskan bahwa pengajuan WBTb bukan untuk mengklaim eksklusivitas terhadap kuliner tertentu, melainkan demi menjaga agar tradisi tersebut tidak punah.
“Banyak yang keliru mengira ini soal klaim. Misalnya amplang, di banyak daerah ada. Tapi versi Samarinda punya keunikan sendiri. WBTb ini untuk pelestarian, bukan membatasi,” tegas Sarip, penulis buku Histori Kutai.
Sarip juga menegaskan bahwa proses pengajuan ini bersifat berkelanjutan dan melibatkan peran aktif komunitas, bukan sekadar seremonial sesaat.
“Kalaupun nanti disahkan sebagai WBTb, daerah lain tetap bisa memproduksi makanan serupa. Ini soal identitas dan pelestarian budaya, bukan monopoli,” tutupnya. (Din/Fch/Klausa)